Menurut fatwa DSN MUI, di didalam praktek ekonomi sehari hari, lembaga keuangan syariah tidak memberikan kredit kepada nasabah, namun pembiayaan dengan akad-akad syariah sesuai dengan keperluan nasabah. Lantas apa perpedaan pinjaman syariah dengan konvensional. Yuk simak ulasan berikut ini.
Pinjaman Syariah
Masih banyak masyarakat yang belum semuanya yakin bahwa pinjaman syariah bebas dari riba. Beberapa masih berpikiran bahwa pinjaman syariah sama praktiknya dengan pinjaman konvensional, hanya berlainan label saja.
Dari rancangan dan keputusan main saja berlainan jauh, bahkan jika mengulas metode dan hukumnya. Gimana bisa? Yuk, kita bahas sama-sama secara simple perbedaan antara pinjaman syariah dengan pinjaman konvensional.

Pinjaman Dalam Pandangan Islam
Perlu kita ketahui lebih dahulu, secara pengertian, kredit merupakan fasilitas keuangan yang amat mungkin seseorang atau badan bisnis meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan dengan dikenakan bunga.
Berdasarkan Undang-Undang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang bisa disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Kredit di sediakan oleh bank umum konvensional, BPR, dan Pegadaian. Sementara itu, pembiayaan merupakan pemberian pendanaan untuk keperluan atau pengadaan barang/ aset / jasa tertentu yang mekanisme umumnya melibatkan tiga pihak yaitu:
- pihak pemberi pendanaan
- pihak penyedia barang/ aset/ jasa tertentu
- pihak yang memanfaatkan barang/ aset/ jasa tertentu
Produk pembiayaan disediakan oleh bank umum syariah/ unit bisnis syariah/ BPRS, dan perusahaan pembiayaan. Sedangkan di dalam Islam, konsep pengenaan bunga atau denda keterlambatan pembayaran angsuran di kredit tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Bunga Bank erat kaitannya dengan praktek transaksi ribawi yang harus dihindari oleh umat Muslim didalam Al Qur’an. Jika persoalan riba udah ditegaskan keharamannya, maka persoalan bunga bank adalah persoalan kontemporer yang memerlukan ijtihad para ulama.
Kita bisa merujuk kepada sebagian ketentuan ulama internasional antara lain:
- Majma’ul Buhuts al-Islamiyyahdi Al-Azhar Mesir terhadap Mei 1965
- Majma’ al-Fiqh al-Islamynegara-negara Organisasi Kerjasama Islam yang diadakan di Jeddah 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22-28 Desember 1985
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 yang menetapkan keharaman bunga bank.
Menurut DSN MUI, praktek pembungaan uang saat ini udah memenuhi persyaratan riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu wujud riba, dan riba haram hukumnya.
Oleh karena itu, praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilaksanakan bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilaksanakan individu.
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Mengutip Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004, riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (bila ‘iwadh) yang terjadi dikarenakan penangguhan didalam pembayaran (ziyadah al-ajal) yang diperjanjian sebelumnya.
Oleh karena itu, para ulama berijtihad untuk menemukan rancangan pinjaman yang tidak melanggar prinsip dan kaidah syariah. Yaitu dengan skema pinjaman syariah yang memiliki rancangan jual beli bukan pinjam meminjam (uang diganti uang ditambah bunga) namun barang diganti dengan uang (konsep pertukaran).
Setelah itu, pihak penjaja berhak menyita margin, yang nantinya akan dibayarkan oleh kastemer bersama type tangguh atau angsuran sesuai kesepakatan yang udah disetujui di awal transaksi.
Menurut fatwa DSN MUI, di didalam praktek ekonomi sehari hari, lembaga keuangan syariah tidak memberikan kredit kepada nasabah, namun pembiayaan dengan akad-akad syariah sesuai dengan keperluan nasabah.
Misalnya, nasabah sedang memerlukan dana untuk belanja kendaraan, maka bank syariah akan menyediakan pembiayaan dengan akad murabahah (berdasarkan prinsip jual beli dengan meraih keuntungan) atau ijarah al-muntahiya bit tamlik.
Sedangkan nasabah yang butuh modal bisnis bisa diberikan pembiayaan dengan akad mudharabah (prinsip bagi hasil) atau musyarakah (prinsip penyertaan modal).
Selain itu, bisa juga dengan skema pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan perpindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Pada intinya, prinsip pinjaman pada bank syariah, sebuah sistem pembiayaan bermakna bukanlah bank meminjamkan sejumlah dana kepada nasabah yang membutuhkan. Akan tetapi, lebih ke arah pembiayaan proyek atau keperluan nasabah baik mendesak maupun untuk keperluan konsumtif, di mana dana yang dimiliki sendiri belum memadai untuk menanggulangi kekurangan.
Perbedaan Pinjaman Syariah Dengan Konvensional
Supaya lebih tahu perbedaannya, berikut ini adalah garis besar pembeda antara pinjaman syariah dan konvensional.
1. Konsepnya
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, konsep kredit atau pembiayaan konvensional lebih kepada pinjam meminjam dengan tambahan bunga. Sedangkan konsep pinjaman atau pembiayaan syariah adalah jual beli dengan margin, kemudian margin tersebut yang akan diangsur oleh kastemer ke jangka waktu tertentu.
Sehingga, pertukaran yang terjadi adalah barang yang sudah dimiliki oleh Bank/Lembaga Keuangan dengan uang nasabah, bukan uang dengan uang.
2. Akad yang Digunakan
Pada pinjaman konvensional, tidak memanfaatkan akad sama sekali. Sedangkan pada pinjaman syariah, akad yang digunakan ada cukup banyak, mulai dari Murabahah, Mudharabah, sampai Musyarakah.
3. Jenis Risiko yang Ditanggung
Jika Anda sudah atau sedang meminjam dengan pembiayaan konvensional, maka kamu sebagai nasabah menjamin seluruh risiko jika tidak bisa mengembalikan pinjaman. Bisa dengan skema denda atau lainnya. Sedangkan dengan pembiayaan syariah, pihak bank sebagai yang meminjamkan juga ikut menjamin sebagian risiko.
4. Besaran Angsuran
Nah, inilah yang paling terlihat perbedaannya. Pada kredit konvensional, skemanya dilaksanakan dengan memanfaatkan sistem bunga mengambang, di mana suku bunga bisa saja berganti kapan waktu sesuai dengan suku bunga yang berlaku di pasar.
Misalnya, suku bunga kredit acuan dari Bank Sentral. Hal seperti ini tentu akan membuat jumlah cicilan juga bisa saja mengalami kenaikan, dikarenakan bunga kredit akan mempengaruhi besaran cicilan secara langsung.
Hal ini tentu saja sangat berlainan dengan kredit syariah, yang sejak awal sebenarnya tidak mengenakan rancangan bunga di didalam layanannya. Sehingga, kuantitas cicilan yang harus dibayarkan akan senantiasa sama sejak awal kredit sampai masa akhir kredit tiba.
Oleh karena itu, nasabah bisa memperkirakan dengan pasti berapa dan kapan angsurannya akan naik dan mereka bisa berupaya pembayarannya sehingga tidak pernah tertunggak.
5. Biaya Lainnya
Biasanya, pada pinjaman atau kredit konvensional akan memberlakukan denda terhadap nasabah yang terlambat melakukan pembayaran cicilan. Nah, besaran denda ini sudah diatur sejak awal dan sesuai dengan kebijakan bank atau lembaga pembiayaan tersebut.
Prinsip inilah yang sebenarnya tidak diperbolehkan didalam Islam. Hal sama tidak akan ditemui di dalam kredit syariah, dikarenakan didalam prinsip syariah tidak mengenal istilah denda. Sehingga jika nasabah terlambat melakukan pembayaran, maka pihak bank atau lembaga pembiayaan akan menarik sejumlah dana atas keterlambatan.
Namun dengan tujuan sejumlah dana tersebut akan disumbangkan kepada lembaga sosial dan tidak jadi bagian keuntungan/pendapatan bagi pihak bank atau lembaga syariah tersebut. Wallahu allam Bishowab.


